Senin, 29 Desember 2008

ATASI BANJIR DENGAN TEKNOLOGI LUBANG RESAPAN BIOPORI

Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air yang mengalir, kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering dan kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (QS Az-Zumar:21).

Ayat Al-Quran itulah yang menjadi dasar Peneliti Institut Pertanian Bogor yang juga staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB Ir. Kamir R. Brata, Msc mengembangkan penemuan ilmiahnya tentang Lubang Serapan Biopori untuk mencegah banjir. Ia juga memanfaatkan sampah organik, untuk menghidupkan mahkluk kecil dalam tanah yang berguna sebagai penghasil sumber air baru.

Teknologi ini diawali dengan pembuatan lubang sedalam 120 centimeter atau disesuaikan dengan jenis tanah, dengan diameter sekitar 10 centimeter. Langkah selanjutnya adalah memasukan sampah lapuk dua sampai tiga kilogram tergantung jenisnya ke dalam lubang tersebut, lalu tutup dengan kawat jaring agar orang yang menginjaknya tidak terperosok.

Teknologi ini menurut Kamir, bisa diterapkan diselokan yang seluruhnya tertutup semen ataupun dihalaman rumah. Air hujan yang masuk dengan mudah ketanah dan terserap ke dalam lubang yang bisa dibuat lebih dari satu itu. Bagaimana perjalanan Kamir R. Brata sampai menemukan teknologi Lubang Serapan Biopori ini? Berikut bincang-bincan eramuslim di tempat kediamannya di Bogor.

Sebenarnya apa yang mengilhami anda menemukan teknologi baru seperti ini?

Saya terinspirasi bahwa segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini tidak mubazir. Air penting bagi kehidupan jangan dibuang, sampah juga penting jangan dibuang. Sudah jelas masalahnya, karena itu saya menggunakannya dalam penelitian ini. Semua orang dapat memanfaatkannya tanpa alasan, dengan segera, agar tidak terlalu banyak kemubaziran dan kita dapat merasakan manfaatnya.

Yang banyak terjadi sekarang para ahli dan orang selalu digoda setan, dan menggampangkan permasalahan yang bisa berdampak besar. Misalnya biar saja buang sedikit sampah ataupun air dari atas pegunungan. Sedikit mula-mula memang tidak membahayakan. Tetapi kalau semua melakukannya pasti akan terjadi musibah.

Saya selaku orang Muslim, menyadari bahwa pelaksanaan ibadah yang dilakukan harus disertai dengan ketaatan kita dalam menjalankan perintahNya. Hal itu dapat terlihat kalau kita tidak mentaati apa yang menjadi perintah Tuhan, Dia akan menurunkan berbagai cobaan dan musibah. Karena itu, sebagai seorang ahli yang mengetahui sistem ekologi tanah, di mana antara ekosistem antara makhluk hidup yang berada di dalam tanah dan makhluk yang tak hidupnya saling ketergantungan, maka kita perlu mengupayakan agar ekosistem tanah tetap utuh dan tidak rusak demi kelangsungan kedua jenis makhluk yang ada didalamnya.

Sampah yang kita buang, lama kelamaan semakin banyak dan akan menjadi beban bagi lingkungan, dan juga beban bagi manusia, karena tempat tinggalnya harus dipakai untuk membuang sampah. Banyak juga yang berinisiatif membuangnya kesungai ataupun saluran air, itupun akan menimbulkan dampak baru yakni meluapnya air sungai.

Karena itu saya berupaya mencari sebuah teknologi dan sebagai orang yang beragama pun saya terpanggil untuk melakukan perubahan. Kita memang sudah mengenal yang namanya sumur resapan air, tapi proses itu masih belum bisa mencegah kemubaziran, karena tanahnya, hasil galian yang tidak sedikit itu harus dibuang ke tempat lain. Selain itu air yang meresap tidak terlalu banyak, sangat sulit memeliharanya.

Atas pemikiran itu serta dengan alasan saya mengetahui makhluk Tuhan yang ada di dalam tanah perlu dibantu untuk terus mendapatkan makanan dari bahan organik, maka saya mencoba membuat Lubang Serapan Biopori ini.

Sebenarnya apa yang menjadi keunggulan teknologi ini?

Air merupakan bagian dari makhluk hidup ada yang menyerap 50 persen dalam badannya, ada yang 80 persen, tanpa air makhluk hidup akan mati. Selain membutuhkan air, makhluk hidup membutuhkan oksigen dan juga makanan. Yang bisa menghidupi itu adalah mereka yang bisa memanfaatkan sinar matahari untuk berfotosintesis yakni tumbuhan dan tanaman, mereka membutuhkan makanan dan energi yang diserap melalui akar yang ada ditanah. Proses ini terjadi dengan sempurna apabila kandungan air dalam tanah cukup dan tidak berlebihan.

Jika air tanah masih utuh maka kerja makhluk di bawah tanah ini akan mengganti air yang hilang karena penguapan diambil oleh tanaman dan manusia, dan perlahan-lahan muncul sumber air baru yang akn dialirkan ke sungai, untuk danau dan situ-situ, serta dapat mendorong air asin tidak masuk kedarataan. Itu akan terjadi jika air cukup diserap oleh tanah. Sebagian orang menganggap itu kerja dari hutan, lantaran mereka melas mengurusnya lagi maka sedikit demi sedikit hutan diubah menjadi kebun yang jelas fungsinya berbeda. Ini yang lama kelamaan diselewengkan.

Saya mencoba berpikir bahwa lubang-lubang kecil bisa dibuat oleh siapapun, katakanlah hutan yang tidak ada penghuninya saja mempunyai lubang-lubang kecil atau Biopori. Kenapa disebut Biopori, sebab lubang yang dibuat itu diisi dengan bahan organik, mulanya cacing, dan di situ tidak ada pencemaran, karena bahan organik semuanya akan larut dan hilang, dan di dalam lubang itu terdapat celah-celah cabang.

Dengan teknologi ini, kita membuat tempat untuk makhluk hidup untuk penyerapan air, dengan memanfaatkan apa yang harus kita buang. Namun yang tidak semua jenis sampah yang bisa ditampung, khusus sampah organik saja. Oleh karena itu yang paling dibutuhkan dalam penerapan teknologi ini adalah kesadaram untuk tidak membuang sampah karena sampah itu adalah sumber daya, apapun jenis sampahnya. Sampah yang tidak lapuk bisa dimanfaatkan oleh pemulung menjadi bahan industri.

Karena itu ubahlah kebiasaan kita, agar selalu memisahkan sampah organik dan non organik. Serta jangan selalu membuang sampah di tempat penampungan, selain menimbulkan bau, sarang lalat, dan tikus, juga dapat merusak lingkungan. Apalagi jika diendapkan di tempat pembuangan akhir sampah, itu akan lama lapuknya dan dapat menghasilkan zat metana yang apabila tidak disalurkan bisa meledak seperti yang terjadi di TPA Luwi Gajah.

Teknologi ini bisa diterapkan di mana saja?

Karena sejak awal saya memikirkan bahwa ini sangat mudah untuk diterapkan, maka tidak ada alasan bagi orang yang membuang sampah dan menggunakan air untuk tidak melakukannya. Artinya setiap orang yang menghasilkan sampah dan menggunkan air maka semua wajib memproses sampahnya sendiri, jangan dibuang ke tempat lain, demikian juga dengan air. Mau lahannya sudah ditutup oleh bangunan ataupun jalan, apalagi yang masih terbuka harus melakukan cara ini. Kenapa ini diwajibkan, jangankan yang tertutup dengan bidang kedap yang dibuat manusia, lahan pertanian dan perkebunan yang masih kosong saja teknologinya membuat kelebihan air untuk dibuang.

Dengan teknologi ini semua orang dapat memanfaatkan air yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan di mana saja. Karena curah hujan ini tidak hanya jatuh dikawasan situ saja, sehingga yang paling gampang agar tidak membebani lingkungan, semua orang harus membuat peresapan itu dengan baik. Setelah saya terangkan dengan mudah, diharapkan ini bisa diterapkan oleh semua orang.

Apakah ini bisa meminimalisir banjir seperti yang terjadi di kota Jakarta?

Air menjadi penyebab banjir kalau drainase tidak bisa menampung air saat itu. Jika hujan jatuh secara merata bukan di sungai, di daratan kita resapkan dan meresapnya juga perlahan-lahan, itu akan menjadi sumber air baru. Kalau tidak diresapkan darimana pun air berasal, hutan, kebun maupun pemukiman kalau dibiarkan akan membebankan sungai. Apalagi kalau ditambah dengan sampah yang dibuang sembarangan. Ini akan menjadi sumbatan bagi sungai dan menimbulkan pencemaan baru bagi sumber air. Jika teknologi ini diterapkan maka banjir yang lima tahunan terjadi pasti tidak seberat sekarang ini. Saya menganggap banjir yang terjadi ini disebakan rencana umum tata ruang yang belum dilakukan dengan baik.

Penemuan anda ini sepertinya harus dibarengi dengan kesadaran masyarakat, apakah ada upaya dari IPB bekerjasama dengan pihak lain untuk membangkitka kesadaran masyarakat itu?

Setelah ada media yang mulai mengangkat hasil penelitian ini, saya merasa mempunyai tanggung jawab moral, setelah mengetahui ada teknologi yang mudah, dan kira-kira semua orang bisa menerapkannya. Saya mewacanakan ini. Dan untuk merubah kebiasaan masyarakat, harus ada perubahan persepsi, bahwa sampah itu jangan dibuang. Memang tidak mudah, karena pasti mereka berfikiran sampah akan mencemarkan pemukiman kita.

Apakah penemuan teknologi lubang serapan Biopori ini sudah anda sosialisasikan kepada pemerintah dan apa tanggapan dari pemerintah?

Saya sudah tawarkan pada Departemen Pertanian, tapi belum ada tanggapan. Karena itu saya mencoba sosialisasikan melalui anda (media), meskipun tidak secara langsung, namun paling tidak ini dapat menjadi pilihan bagi masyarakat. Saya akui ini memang agak sulit untuk disebarkan langsung, karena aparat dibawahnya masih mengikuti petunjuk teknis dari departemen terkait. Tetapi jika departemen mengetahui ada pilihan yang lebih aman, bisa melakukannya.

Apa kelemahan hasil penemuan anda ini, misalnya saja sampah organik ini busuk dan menjadi bau?

Saya sedang menanti-nanti apa yang menjadi kelemahannya. Menurut saya, kalau bahan organik itu berada pada lubang yang kecil bisa masuk cacing, proses itu akan diuraikan, tidak mungkin menjadi kotor dan bau. Tetapi kalau lubang besar, busuk, karena terlalu banyak, sampah sulit diuraikan. Karena itu sampah harus disebarkan, jangan hanya berada disatu tempat. Hasilnya itu juga bisa dijadikan kompos.

Berapa biaya yang dikeluarkan untuk lubang serapan Biopori ini?

Kalau untuk membuat lubangnya, kita hanya memerlukan bor tanah. Paling mudah karena dapat dilakukan secara manual dengan bor tanah dengan harga 200-300 ribu dan itu bisa dipakai oleh puluhan orang dalam waktu yang lama. Dapat dipakai untuk membuat lubang tambahan. Jika dibandingkan dengan sumur serapan, biayanya akan lebih mahal. Dengan lubang kecil ini air akan menyerap lebih cepat, karena air yang masuk sedikit dan menyebar. Untuk penerapan teknologi ini biayanya tidak terlalu besar, tetapi efektivitasnya lebih besar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar