Senin, 29 Desember 2008

2 Tahun Lumpur Lapindo: Dua Tahun Rakyat Diabaikan

Jakarta, 27 Mei 2008 – Bencana luapan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sudah berlangsung dua tahun. Hingga kini, lumpur Lapindo terus menyembur. Selama itu pula hak rakyat ikut dikubur. Hingga Selasa (27/5), semburan lumpur sudah menggenangi 14 desa di tiga kecamatan. Seluruh infrastruktur, seperti jalan tol, jalan raya, dan rel kereta, alami kehancuran perlahan. Namun, sejauh ini belum ada upaya konstruktif dilakukan untuk menyumbat sumber masalahnya. Padahal, tragedi kemanusiaan ini mengakibatkan semakin banyak warga yang tergusur dan menanggung kerugian moril dan materiil.

“Luberan lumpur Lapindo telah menjebak banyak pihak. Tak hanya menyengsarakan warga korban, semburan lumpur juga menjerat anggaran negara. Padahal, telah jelas tercantum dalam amar putusan majelis hakim Nomor 384/PDT.G/2006/PN.JKT.PST tanggal 27 November 2007 bahwa, ’semburan lumpur akibat kekuranghati-hatian pengeboran yang dilakukan Lapindo karena belum terpasang casing atau pelindung secara keseluruhan,’” tegas Ivan Valentina Ageung, Manajer Litigasi WALHI.

Seperti diketahui, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diputus kalah di tingkat pengadilan negeri. WALHI menggugat Lapindo mengenai perbuatan yang membahayakan lingkungan, sedangkan gugatan YLBHI menyangkut pelanggaran hak asasi manusia.

“WALHI akan terus memburu penjahat lingkungan sesuai prosedur hukum. Meski dinyatakan kalah di tingkat pengadilan negeri, upaya banding telah ditempuh WALHI, yakni dengan didaftarkannya upaya banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2008 lalu,“ seru Ivan.

Ketidakpastian hukum kasus lumpur Lapindo memperjelas kelemahan pemerintahan SBY. Di bawah ketiak korporasi, keduanya tak bisa berbuat banyak. Bung Hatta mengatakan, “lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi daripada suatu negara asing.” Ini pula yang dialami oleh warga korban lumpur Lapindo di desa-desa Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Kini, luapan itu menyebabkan ribuan warga kehilangan tempat tinggal, sawah, dan pekerjaan, serta mengalami stres, ketakutan, dan kekerasan. Budi (33), salah seorang korban yang tinggal di tepi Jalan Tol Porong-Gempol mengurai kejengkelannya, “Ada permainan politik, dan yang pasti pemerintah belum berpihak kepada rakyat. Namun, kami tak akan menyerah”.

Setali tiga uang, Berry Nahdian Furqan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI juga menegaskan, “negara dan Lapindo belum berbuat maksimal untuk memulihkan kerusakan lingkungan dan hancurnya kehidupan yang dialami warga korban. Rakyat menilai, negara justru tunduk di bawah kaki Lapindo”.

Sikap WALHI

Sejak Mei 2006 silam, WALHI bersikap bahwa PT Lapindo Brantas harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kejahatan kemanusiaan dan lingkungan yang terjadi di Porong, akibat kelalaian aktivitas pengeboran di Sumur Banjar Panji I, Porong, Sidoarjo.

“Sebelum kondisi semakin buruk, sehingga tidak dapat dikendalikan sama sekali, pemerintah harus mendorong Lapindo untuk segera menutup pusat semburan lumpur dan menuntaskan tanggung jawabnya terhadap korban,” ujar Ivan.

Pada Mei 2008 ini, PT Lapindo Brantas mengucurkan 80% dana sisa kepada beberapa korban semburan lumpur. “Hal lain yang harus dilakukan Lapindo adalah menyepakati mekanisme lain sebagai wujud tanggung jawabnya kepada korban semburan lumpur Lapindo yang berada di Pasar Baru Porong, Sidoarjo; dan warga korban sekitar yang berada di luar peta terdampak,” tukas Berry.

Seperti diketahui, model penanganan yang dilakukan saat ini sebatas menunda peluasan luberan. Hal ini akan berdampak pada makin luasnya penghancuran daya dukung Kali Porong hingga ke Selat Madura, bahkan mengancam keselamatan masyarakat di sekitarnya. Luberan lumpur itu apabila dibiarkan akan memperburuk kondisi ekologi wilayah tersebut dan ekonomi masyarakatnya, terutama yang tinggal di desa-desa sepanjang Kali Porong.

Kini, kondisi kawasan itu semakin membahayakan. Sedikitnya 15 tanggul penahan lumpur jebol dan menggenangi kawasan sekitarnya. Hingga pertengahan Mei ini, ada sekitar 90 semburan lumpur baru di sekitar rumah warga—semburan ini mengandung nitrogen dioksida (NO2) yang mudah terbakar dan hidrokarbon (HC) yang beracun.

Di Siring Barat, misalnya, ditemukan hidrokarbon yang kandungannya lebih dari 266 kali ambang baku yang diperbolehkan. Gas itu tergolong berbahaya, bersifat karsinogenik—dapat menyebabkan kanker. Jika tidak segera dievakuasi, dampaknya terasa panjang.

Akhirnya, WALHI meminta pemerintah segera mendesak Lapindo Brantas Inc menghentikan semburan lumpur dengan pelbagai metode yang diusulkan banyak ahli pertambangan. Dari segi teknologi, banyak orang Indonesia yang mempunyai keahlian menutup semburan. Jika tidak ditangani segera, kondisi ini dapat menenggelamkan wibawa negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar